Budaya Indonesia telah bergeser. Entah pergeseran ini akan jadi pertanda menuju Indonesia yang lebih baik, atau justru mendorong bangsa kita ke jurang kehancuran. Hal sesederhana pemilihan nama bisa jadi contohnya. Kini banyak orangtua yang tak lagi peduli soal kebanggaan sebagai putra-putri bangsa.
Nama-nama tersebut kini susah kita temui. Kalaupun ada, paling-paling yang punya sudah berumur 40 tahun lebih. Anak muda penerus tongkat estafet kepemimpinan bangsa, tak lagi menyandang identitas Indonesia. “Namanya norak!” Ejekan semacam itu yang membuat nama-nama khas Indonesia tak bisa lagi ditemukan.
Nama anak sekarang pun aneh-aneh. Mulai dari Mike, Audrey, Syahabeel, ataupun Kezia. Itupun belum termasuk nama panjangnya yang ribet abis. Kenapa ya kira-kira kok bisa begini?
Pilihan nama mulai berganti dengan nama-nama asing yang sulit dilafalkan. Tengok saja nama teman sekelasmu kalau nggak percaya
Perkara nama nggak penting bernuansa Indonesia. Yang penting terdengar lebih keren. Meski lebih susah dilafalkan, nyatanya hal itu tak meruntuhkan niat orangtua untuk memberi nama anaknya dengan nama-nama asing itu. Menuliskan nama “Michelle Angelica” dirasa lebih keren bagi orangtua sekarang daripada memberi nama “Adinda Sri Ningsih”.
Padahal kalau bicara soal arti nama, Adinda Sri Ningsih memiliki makna yang berhubungan dengan Putri Cantik Kesayangan. Kurang indah gimana coba?
Sayangnya, nama-nama tersebut sekarang mulai tergeser oleh nama-nama yang ‘dianggap’ lebih modern. Ketika era anak 90-an sekolah dulu, nama-nama tersebut merajai pemilihan nama di kelas. Nama seperti Budi dan Ani nyatanya sampai jadi pilihan rutin masuk buku pelajaran zaman SD dulu. Sekarang? Nama Budi dan Ani sudah sangat jarang terdengar di sekitar kita.
Masuknya budaya asing jadi alasan utama. Tak ada filter yang membendung masuknya budaya-budaya tersebut…
Mungkin mental kita sebagai bangsa yang pernah terjajah selama ratusan tahun yang jadi penyebab utamanya. Meskipun Bung Karno sudah berusaha keras menyingkirkan sisa-sisa mental terjajah tersebut, namun nyatanya usaha beliau masih belum cukup untuk membabat habis sisa-sisa mental bangsa terjajah yang sudah terpatri dalam benak bangsa ini.
Maklum sih, kita pernah dijajah oleh banyak bangsa asing. Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol hingga Jepang pernah mencengkram kehidupan kita selama ratusan tahun. Pengalaman itu lah yang membuat mental kita lebih mudah menerima masuknya budaya asing.
Buktinya, ketika ada budaya yang masuk — utamanya budaya barat — banyak warga kita yang mengagung-agungkannya. Mulai dari bahasa, film hingga fashion, dengan mudah kita terima begitu saja. Seakan budaya luar adalah budaya yang lebih baik dari budaya nenek moyang sendiri, mereka menerimanya bulat-bulat dan perlahan mengganti budaya yang ada.
Hasilnya, berubahnya nama menjadi bukti tak terelakkan bahwa budaya kita sudah mulai kalah saingan. Budaya asing masuk, budaya sendiri terpinggirkan
Yah, meskipun kasusnya terkesan sepele. Namun mengganti Bambang dengan John, sebenarnya bisa dianggap sebagai bentuk awal memudarnya kecintaan terhadap budaya bangsa sendiri. Sepele memang.
Kalau kata orang, ‘apalah arti sebuah nama’. Namun, sejatinya nama punya peran penting dalam budaya bangsa. Nama menunjukkan identitas kita yang sebenarnya. Nama seperti Ningrum dan Teja memang terdengar sederhana dan remeh. Namun justru nama-nama itulah yang menunjukkan siapa kita dan kebanggaan kita terhadap budaya bangsa.
Selain itu, nama adalah doa. Memberi nama indah dari pilihan bahasa yang ada di negara kita juga merupakan sebuah doa yang indah agar Indonesia selamanya tetap jaya.
Perlahan, bangsa besar ini meminggirkan budaya sendiri. Meski cuma ‘sekadar’ nama, sebenarnya itu tanda kita sudah tak percaya bangsa sendiri
Sayangnya, mental terjajah kita nyatanya masih ada. Lebih memilih hal-hal berbau asing — meski cuma sekadar dalam hal nama — jadi bukti kita tak percaya bangsa sendiri. Bangsa yang katanya besar dan merdeka atas usaha sendiri ini malah meninggalkan budaya asli nenek moyang dan memilih yang dari luar sana.
Iya, meski “sekadar” nama, namun itu jadi bukti tak terbantahkan bahwa mulai ada ragu dalam benak kita. Yanto dan Sri sudah tak lagi dianggap keren untuk jadi nama anak mereka. Warga Indonesia lebih memilih Ronald dan Chelsea atau bahkan siapa saja asal bukan Yanto dan Sri untuk jadi anak mereka.
Selain karena perkara gengsi — memandang Yanto dan Sri adalah panggilan norak dan kampungan, perkara lainnya adalah karena masyarakat terkesan meremehkan nama pribumi. Orang yang namanya Yanto, Budi, Sri, atau Ningsih itu bisa apa? Meski tak ditampakkan dengan jelas, namun dalam hati orang-orang Indonesia banyak yang sudah berpikir seperti ini. Apalagi kalangan anak mudanya — yang lebih memilih nama asing sebagai identitas dirinya.
Melihat fenomena ini kita cuma bisa menghela nafas panjang. Namanya juga fenomena budaya. Yang kuat akan menggeser yang lemah. Padahal bangsa kita bangsa besar yang punya identitas budaya yang sangat kental, tapi kok bisa semudah itu mengganti nama jadi asing demi sekadar gengsi, ya?
Melihat fenomena ini kita cuma bisa menghela nafas panjang. Namanya juga fenomena budaya. Yang kuat akan menggeser yang lemah. Padahal bangsa kita bangsa besar yang punya identitas budaya yang sangat kental, tapi kok bisa semudah itu mengganti nama jadi asing demi sekadar gengsi, ya?
Yuk pertahankan budaya bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar